Masa bodoh dengan organisasi”.
Setidaknya itulah yang terpatri dalam otak saya sejak awal masuk SMP dahulu. Apalagi ketika SD, menjadi peringkat pertama saja sudah cukup. Dari SMP hingga akhir SMA saya tidak pernah merasa tertarik untuk terjun langsung dalam dunia organisasi. Saya lebih nyaman menjadi duduk di depan komputer dan bermain game atau menjadi seorang simpatisan kegiatan karena bisa ikut ketika lagi asik-asiknya saja. Mungkin oportunis dan parasit lebih tepatnya. Hingga akhirnya ketika fase ujung tanduk SMA alias menjelang kelulusan saya iseng-iseng untuk mengikuti berbagai kegiatan bersama rekan-rekan yang memang berkecimpung di dunia Organisasi. Singkat cerita, saya berdiskusi dengan seorang kawan dan kita sama-sama berjanji untuk aktif di dunia organisasi saat kuliah.
Ketika awal kuliah, saya mendaftar di 3 organisasi tingkat fakultas yaitu kelompok studi entomologi, jmmb, dan BEM. Saya aktif di KSE dan JMMB hingga pada tahun kedua saja. Sedangkan BEM hingga saat ini. Masih teringat ketika awal proses diklat salah satu dari ketiga organisasi tersebut, kakak tingkat meminta saya menulis ingin masuk departemen apa. Penuh rasa iseng dan songong saya tulis Ketua. Padahal latar belakang organisasi saya Nol Besar. Modal duniawi saya pun hanya 2. Semangat dan Muka Tebal. Mungkin yang kedua lebih dominan
Setelah berkecimpung di Organisasi, saya banyak bertemu teman-teman yang hebat bahkan cenderung mengerikan track record nya. Ada yang pernah aktif di OSIS lah, MPK lah, KIR lah, Rohis lah, menjabat ini, menjabat itu, dll. Di organisasi pun saya bertemu orang-orang dengan berbagai karakter, dari yang mulai tukang ngambek sampai yang kesabarannya tingkat tinggi karena sering ditindas. Di organisasi pun saya belajar berdinamika dengan berbagai hal, belajar untuk kritis, belajar untuk membagi waktu, membagi emosi dan hati. Disinilah modal duniawi saya bertambah.
Dalam dunia organisasi, salah satu tantangan yang sering saya temukan adalah tantangan komunikasi. Terkadang alur komunikasi masih belum baik, atau kadang kita tidak mau proaktif untuk mengklarifikasi sesuatu sehingga akhirnya timbul prasangka dan terjadilah miskomunikasi. Selain itu, salah satu catatan penting yang saya rasakan dalam berdinamika organisasi adalah, menjadi seorang kritikus dan penonton itu sangat jauh lebih mudah ketimbang ketika kita menjadi pemain yang mengeksekusi secara langsung.
“Pemain paling pasif pun tetaplah seorang pemain. Sedangkan penonton paling aktif pun tetaplah seorang penonton”.
Atau, dalam suatu waktu terkadang kita harus menentukan sikap diantara 2 pilihan
- Kita berlari mengejar tujuan organisasi tapi ada anggota yang sulit diajak berlari, atau
- Kita berjalan santai bersama seluruh anggota organisasi tapi tujuan lama bahkan bisa tidak tercapai
Pilih mana?
Terkadang pula titik jenuh datang menghampiri. Tapi jika teringat usaha ketika awal ingin masuk organisasi, semangat, janji, orang tua, teman, waktu yang telah diluangkan, mengurangi jumlah SKS agar tetap proposional waktu akademis dan organisasi. Atas segala harga yang telah dibayar, pantang rasanya untuk terlalu lama lapuk dalam rasa jenuh.
Tahun ini, saya diamanahkan sebagai ketua BEM. Banyak hal yang dirasakan. Tapi yang jelas, menjadi ketua, apapun organisasinya. Bukan soal aku, tapi soal kita. Mau ketua sehebat apapun jika staffnya lesu tiap detik buat apa. Mau staffnya sehebat apapun siap kerja 25 jam sehari, tapi ketuanya galau duduk di pojok kost-kostan 26 jam sehari buat apa.
Bagi saya menjadi ketua itu bagaikan praktikum manajemen. Dari mulai manajemen diri, hati dan emosi ketika harus menjadi orang terakhir yang berusaha tidak terjatuh, menjadi tong sampah keluhan dan kritik dari berbagai pihak, kikuk ketika ada staff curhat hingga berurai air mata, berusaha merealisasikan cita-cita dan harapan sejak masuk BEM. Manajemen waktu, ketika tugas kuliah menggoda dengan map cantik berwarna merah,kuning,hijau untuk dikerjakan namun tugas organisasi sudah mendelik tajam meminta dituntaskan hingga kita harus terjun langsung pada kerja-kerja organisasi bersama pengurus dan staff-staff bocil penuh semangat. Manajemen konflik ketika terdapat tantangan internal organisasi. Manajemen otak ketika berusaha mempelajari karakter anggota. Masih segar dalam ingatan saya ketika saya berdiskusi dengan sahabat super saya untuk mencoba melakukan hal sederhana, menghafal nama semua anggota BEM. Hingga manajemen wajah untuk berusaha tersenyum meskipun deadline berbagai hal makin mendekat. Hal-hal tersebut menjadi catatan tersendiri selama saya menjadi anggota hingga ketua BEM. Sebuah kesempatan tak ternilai yang sudah diberikan Allah pada saya.
Untuk punggawa BEM selanjutnya, jangan hanya menjadi Generasi penerus. Tapi jadilah generasi revolusioner. Yang selalu kritis tapi solutif. Siap mengkritik dan siap dikritik. Kontributif untuk merubah sistem yang dirasa kurang baik bukan mundur teratur. Berusaha menjaga bukan selalu ingin dijaga. Selalu berusaha peduli kabar kawan seperjuangannya bukan manja dan selalu ingin dimengerti. Solid secara internal dan selalu membumi serta merakyat untuk mengedepankan aspirasi mahasiswa, rekan-rekan kelompok studi, karyawan, dosen dan seluruh civitas akademika.
Rasa syukur saya di BEM tidaklah cukup diwujudkan dalam hal-hal simbolik seperti jaket, slayer atau foto kabinet yang bisa usang dimakan waktu. Tapi kenangan berjuang bersama keluarga besar BEM di ruang pojok berpintu biru sudah terlalu dalam membekas dalam hati. Karena bagi saya, tidak pernah ada mantan keluarga. Permohonan maaf saya haturkan atas segala kesalahan yang sudah saya perbuat, baik itu ucapan, perbuatan atau sekedar pandangan. InsyaAllah jika Allah mengizinkan, tahun ini akan jadi tahun ketiga dan terakhir saya di BEM FB. Secara struktural, tapi tidak secara hati.
Salam solid aspiratif.
Akbar Reza
Ketua BEM Fakultas Biologi UGM periode 2012
superman itu nggak ada, adanya superteam